[Resume] Bioremediasi Sulfat

Reviewer: Mutiara Safitri & Rina Susanti

ISOLASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT UNTUK MEMPERBAIKI SIFAT
KIMIA TANAH BEKAS TAMBANG BATUBARA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP KARET (Hevea brasiliensis) DI POLIBEG

1.       Isolasi Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) Dan Pemurniannya

a.       Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
Bakteri pereduksi sulfat merupakan bakteri obligat anaerob yang menggunakan H2 sebagai donor elektron (chemolithotrophic). BPS dapat mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi sulfida, selanjutnya H2S yang dihasilkan dapat mengendapkan logam-logam toksik (Cu, Zn, Cd) sebagai logam sulfida. BPS memerlukan substrat organik yang berasal dari asam organic berantai pendek seperti asam piruvat. Dalam kondisi alamiah, asam tersebut dihasilkan oleh aktivitas anaerob lainnya. Bakteri pereduksi sulfat tersebar luas di alam, mereka terdapat di tanah, di air, di sedimen dan limbah. Kekhususan dari bakteri pereduksi sulfat yaitu bakteri pereduksi sulfat menggunakan sulfat atau hidrogen sebagai akseptor elektron dan umumnya sangat diperlukan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Sehingga dalam kondisi anaerob, ketersediaan sulfat dalam tanah akan dibatasi terutama pada pH tanah di atas 5.5 (Posumah, 2018).
Bakteri pereduksi sulfathidup secara anaerob dan dapat tumbuh padakisaran pH 2 sampai pH 9, tetapi optimalnya pada pH 7. Dalam prosesnya, BPS mereduksi sulfat menjadi sulfida yang tidak larut sebagai bagian dari aktivitas metabolismenya. Sulfida mengendap, kandungan logam hilang dari air. Di samping itu, sejumlah spesies BPS dapat mengurangi beberapa logam yang sulit ditangani seperti mereduksi uranium (VI) (larut) menjadi uranium (IV) (tidak larut).
b.      Mekanisme Bakteri Pereduksi Sulfat
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan penyusun selnya. Pada kondisi anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor electron. Ketika sulfat menerima elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi membentuk senyawa sulfida. Penurunan konsentrasi sulfat akan meningkatkan pH tanah. Hal ini terjadi karena beberapa proses yang saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan bahan organik dan aktivitas BPS. Meningkatnya pH terjadi karena BPS menggunakan sulfat sebagai aseptor elektron dan karbon (C) dari kompos sebagai donor elektron dengan  menghasilkan hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida akan segera berikatan dengan logam membentuk logam sulfida yang tidak larut sehingga ketersediaan logam turun. Keseluruhan reaksi reduksi sulfat dan logam yang melibatkan BPS. Meskipun Bakteri Pereduksi Sulfat menggunakan sulfat sebagai terminal akseptor elektron, BPS juga mampu menggunakan berbagai jenis akseptor elektron untuk pertumbuhan dan memfermentasikan substrat yang tidak tersedia akseptor elektron inorganik. BPS dapat mereduksi senyawa sulfur lain (thiosulfat,sulfit, dan sulfur) menjadi sulfida atau dapat mereduksi nitrat menjadi amonium. Senyawa lain yang merupakan akseptor elektron untuk beberapa BPS termasuk besi (Fe(III)), uranium (U(VI)), selenat(Se(VI)), chromat (Cr(VI)), dan arsenat (As(VI)). Bagaimanapun, tidak semua proses reduksi sesuai untuk pertumbuhan (Yusron, 2009).
c.       Isolasi Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan Pemurniannya
Menurut Sembiring (2016) yang menyatakan bahwa, sumber isolasi BPS yang digunakan adalah sewage sludge, sludge industry kertas yang diambil dari pabrik kertas di Riau, dan rumen sapi. Isolasi BPS dilakukan dengan komposisi media Postgate B yang disederhanakan. Komposisi untuk satu liter media cair Postgate B terdiri atas natrium laktat (8 mL), magnesium sulfat (1,0 g), ammonium klorida (0,5 g), kalium dihidrogen fosfat (1,0 g), besi fosfat (0,1 g) dan asam askorbat (0,5 g), glukosa (0,1 g), kalsium klorida (0,1 g), natrium sulfat (0,5 g), dan ekstrak khamir (0,1 g). Pengaturan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat sebelum disterilisasi selanjutnya dihomogeniasai dengan vortex dan -6 -3 dilakukan pengenceran 10 dan 10 dengan dua kali ulangan. Biakan BPS diinkubasi pada inkubator sampai 10 hari. Tumbuhnya BPS ditandai dengan berubahnya media menjadi warna hitam. Isolat yang terbentuk kemudian dimurnikan pada media Postgate cair. 
Pemurnian isolat dilakukan dengan metode pengencer. Isolat yang diperoleh dikocok dengan baik hingga terbentuk suspensi. Tingkat pengenceran sepuluh kali dilakukan dengan memindahkan secara aseptik 1 mL suspensi mikrob ke dalam  tabung yang berisi 9 mL larutan fisiologi 0,85% lalu dihomogenisasi. Suspensi tersebut diencerkan lebih lanjut dengan cara yang sama hingga pada tingkat pengenceran12 10 . Suspensi dipindahkan secara aseptic sebanyak 1 mL ke dalam tabung ulir yang telah berisi media cair steril 1/3 bagian, lalu media ditambahkan secara perlahan-lahan hingga penuh dan ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu 35 C. Pengamatan dilakukan terhadap waktu pertumbuhan biakan mulai dari munculnya warna hitam hingga seluruh tabung menghitam. Isolat yang tumbuh pada tingkat pengenceran terakhir diindikasikan sebagai biakan dengan satu jenis sel BPS (Sembiring, 2016).

2.      Aplikasi Bakteri Pereduksi Sulfat (Bps) Pada Tanaman Karet

Lokasi penelitian ini terletak di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi-Kota Sawah Lunto, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi tersebut merupakan lahan bekas tambang batubara dengan sistem tambang terbuka yang telah ditinggalkan perusahaan besar selama ±4 tahun. Pengambilan tanah sebagai media tumbuh dilakukan dengan diayak menggunakan saringan berukuran 25 mesh dan dimasukkan ke dalam polibeg yang berukuran 40 x 50 cm (ukuran terlipat). Selanjutnya tanah bekas tambang batubara dicampur dengan bahan organik, perbandingan volume 1 bahan organik dan 3 tanah bekas tambang anaerob jar) sebagai media tumbuh tanaman polibeg. Pemberian bahan organik bertujuan untuk memicu perkembang-biakan dan sumber C untuk BPS. Selanjutnya tanah yang telah dicampur bahan organik, harus dijenuhkan terlebih dahulu sebelum aplikasi BPS. Penjenuhan dilakukan dengan penambahan air steril sampai berbentuk pasta atau lumpur. Tujuan penjenuhan adalah untuk menjaga kondisi anaerob agar BPS dapat tumbuh. Selanjutnya setiap polibeg diaplikasikan isolat BPS sebanyak 5 satu liter (kerapatan bakteri 10 ), dan diinkubasi selama 10 hari (Widyati, 2007).
Tujuan inkubasi adalah untuk menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara sebelum dilakukan penanaman karet. Dilakukan penambahan air sebanyak 1500 ml untuk  mempertahankan kejenuhan air dan kondisi anaerob sehingga mikroba dapat bekerja optimum. Adapun perlakuan yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1.      Isolat A + bahan organik + tanah bekas tambang batubara
2.      Isolat B + bahan organik + tanah bekas tambang batubara
3.      Isolat D + bahan organik + tanah bekas tambang batubara
4.      Bahan organik + tanah bekas tambang batubara dengan perbandingan 1:3 (v/v) atau  kontrol 2
5.      Tanah bekas tambang batubara (100%) atau kontrol 1
Penanaman tanaman karet dilakukan setelah proses penjenuhan dan inkubasi BPS selam 10 hari. Tanaman karet yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman karet klon PB 60 dengan stadia 2 payung. Parameter pengamatan di polibeg meliputi tinggi tanaman (dari pertautan okulasi), jumlah payung daun, dan diameter batang karet (diukur pada ketinggian 10 cm) yang dilakukan pada awal sebelum tanam dan tiga bulan setelah tanam. Sedangkan untuk tanah bekas tambang batubara dilakukan analisis sifat kimia dan fisik mencakup pH, unsur hara, KTK, KB, dan kandungan sulfat sebelum perlakuan. Setelah perlakuan dilakukan analisis kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara tersebut.

3.      Isolasi dan Perbanyakan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tiga isolate BPS. Dua isolat dari sludge industri kertas dan satu isolat dari sewage industri kertas,tidak didapatkan isolat dari rumen sapi. Isolat dikarakterisasi menjadi tiga kelompok isolat, yaitu Isolat  A berwarna hitam yang terletak di dasar tabung ,Isolat B bewarna hitam merata penuh didapatkan dari sludge industri kertas,,dan Isolat D berwarna hitam dengan kecoklatan merata( dari sewage sludge industri kertas

Gambar 1. Isolat BPS yang diisolasi dari sludge industri kertas dan sewage sludge

Isolat yang didapatkan dalam penelitian ini merupakan isolat BPS karena dilihat dari adanya perubahan warna media yang digunakan yaitu media selektif Postgate B menjadi hitam. Identifikasi bakteri ini sesuai dengan metode yang disampaikan oleh Atlas & Parks (1993) dan Stanier et al (1982). Hasil isolate yang sama juga terdapat dalam penelitian Widyati (2011) bahwa karakterisasi isolate BPS dari sludge industri kertas terbagi menjadi 4 kelompok yaitu isolat 1 berwarna hitam dengan keabu-abuan, isolat 2 berwarna hitam dasarnya coklat), isolat 3 berwana hitam penuh dan isolat 4 berwarna hitam berdasar abu-abu di dasar tabung serta isolat 4 yang paling efektif mudah diaplikasikan di lapangan. Perbanyakan yang telah dilakukan terhadap ketiga isolat dalam media kompos steril menghasilkan masing-masing isolate sebanyak ±40 liter Biakan BPS yang tumbuh ditandai dengan terbentuknya gelembung di permukaan bahan organik.

Gambar 2.Perbanyakan isolat dalam carrier   kompos steril

4.      Sifat Fisik dan Kimia Tanah Bekas Tambang Batubara Sebelum Perlakuan

Sifat fisik dan kimia tanah bekas tambang batubara tertera pada Tabel 1. Dilihat dari tekstur tanah (fraksi pasir, debu, liat), untuk perkebunan karet masih kurang sesuai. Hal ini dikarenakan nilai fraksi pasir masih relatif tinggi. Tanah bekas bertekstur pasir memiliki Kapasitas Tukar kation (KTK) yang rendah dan kandungan pirit yang tinggi. KTK merupakan kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. Koloid anorganik (liat) dan koloid organik (bahan organik) berperan aktif dalam pertukaran dan penjerapan kation (Hanafiah, 2005).
Ditinjau dari sifat kimianya, Tabel 1 menunjukkan tingkat kesuburan tanah rendah. Berdasarkan kriteria penilaian tanah dalam Hardjowigeno (1995), sampel tanah bekas tambang menunjukkan pH yang sangat masam. Pada perkebunan karet, pH tanah 3,3 merupakan ambang bat as mi ni mal ,  sehi ngga di per l ukan perlakuan untuk meningkatkan pH tanah. pH yang rendah mengganggu serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman melalui ketersediaan unsur hara dan unsur yang bersifat racun bagi tanaman, serta menyebabkan kandungan C-organik pada tanah bekas tambang batubara juga rendah, yaitu hanya 0,65%. Ketersediaan hara dan kation-kation yang dapat ditukar pada tanah bekas tambang batubara sangat rendah, serta kandungan sulfat yang tinggi.
Begitupun kandungan unsur alkali tanah, seperti Ca, Mg, Na, dan K pada areal bekas tambang rendah. Profil  tanah terganggu akibat pengerukan, penimbunan, dan pemadatan alat-alat berat. Hal ini mengakibatkan buruknya sistem tata air dan aerasi yang secara  langsung  mempengaruhi perkembangan akar. Perkembangan akar tanaman Acacia mangium pada lahan bekas tambang batu bara di Kalimantan Timur terhambat akibat buruknya sistem tata air dan aerasi akibat kondisi tanah yang kompak (Istomo, Setiadi, & Putri, 2013).
Tekstur tanah menjadi rusak sehingga mempengaruhi kapasitas tanah untuk menampung air  dan nutrisi. Akibat pemadatan tanah menyebabkan pada musim kering tanah menjadi padat dan keras. Kondisi kimia lahan bekas tambang penambangan menunjukkan bahwa kesuburan tanah, pH, dan keberadaan hara dalam tanah rendah, sedangkan keberadaan sulfat tinggi, karena larutan dari metal sulfida. pH tanah yang sangat rendah menyebabkan rusaknya sistem penyerapan unsur P, Ca, Mg, dan K, serta toksisitas tanah. Keasaman sisa penambangan dapat meningkatkan kandungan total unsur Fe, senyawa yang berasal dari rusaknya tanah akibat hujan yang menghasilkan sulfur (Pattimahu, 2004).


5.      Pengaruh Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Sifat Kimia Tanah Bekas Tambang Batu Bara

Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian  masalah yang harus diatasi terlebih dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan cara mengeliminasi kontaminan. Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat di definisikan sebagai proses membershikan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Yuliana, 2013).


Kelompok mikroba yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk logam sulfida yang reduktif (Widyati 2007). Peranan mikroba bisa sebagai biokatalisator AMD dan sebagai agen Biomining. Asam sulfat merupakan asam kuat sehingga akan menurunkan pH tanah dan air secara drastis. Menurunnya pH dapat meningkatkan kelarutan logam-logam. Menurunnya pH dan hilangnya bahan orgnik (akibat penambangan terbuka) akan memicu inisiasi bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) seperti Thiobacillus sp.,Leptospirillum sp., Sulfolubus sp., dan Ferroplasma sp. Mikroba rtersebut suka asam (acidophilic), menggunakan sumber C dari bahan anorganik (lithotroph atau ototrof) dan menggunakan sumber energy dari oksigen (Widyati, 2011).
Namun demikian, BOS dapat dimanfaatkan untuk “memanen” sisa logam yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti tembaga, seng, nikel, bahkan dapat melepaskan emas dan perak dari mineral pirit. Kelompok mikroba tersebut dikernal dengan istilah “mikroba penambang” atau biomer dan aktivitas penambangan dengan menggunakan mikroba disebut boomining. Biomining adalah istilah untuk memfasilitasi ekstraksi logam-logam dari mineral bersulfur atau yang mengandung besi dengan menggunakan mikroba (Yuliana, 2013).
Pada tanah bekas tambang dijumpai logam-logam yang awalnya berada dalam kondisi reduktif yang berikatan dengan sulfide membentuk mineral yang kompleks. Namun demikian logam-logam tersebut menjadi tersedia karena teroksidasi akibat bereaksi dengan udara dan atau air. Logam-logam Fe, Mn, Zn, Cu, Ni, dan sebagainya banyak dijumpai pada lahan bekas tambang. Di samping itu, pada pertambangan yang memerlukan pemurnian bijih banyak dijumpai logam-logam berat seperti arsen (As), merkuri (Hg) atau bahan berbahaya lainnya misalnya sianida (CN). Salah satu spesies mikroba yang terbukti mampu melakukan bioremediasi sianida adalah Pseudomonas pseudoalcaligenes yang dapat menurunkan ketersediaan CN pada kolam tailing sampai 90% dlam waktu 2-3 hari pada pH 10,5 (Hardjowigeno, 2005).
Akar permasalahan pada lahan bekas tambang terbuka (misalnya pada lahan bekas batubara) yaitu sangat rendahnya pH akibat akumulasi sulfat pada meningkatnya kelarutan logam-logam. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan yang demikian harus dimulai dengan penurunan konsentrasi sulfat dan pencegahan oksidasi mineral sulfide lebih lanjut. Kelompok bakteri pereduksi sulfat (BPS) dapat dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat (Widyati, 2006).
Hasil penelitian Widyati (2006), menunjukan bahwa BPS dapat digunakan untuk mereduksi sulfat pada tanah bekas tambang batubara dengan efisiensi 80% dalam waktu 10 hari. Di samping itu, inoculum BPS dengan dosis inoculum 25% dari total volume tanah tersebut dapat menurunkan ketersediaan Fe, Mn, Zn, dan Cu dengan efisiensi mencapai 90% dengan waktu inkubasi 15 hari. Aplikasi pada air asam tambang (AAT) menunjukkan bahwa penambahan inokululm BPS 1% dari volume AAT dapat meningkatkan pH menjadi netral hanya dalam waktu beberapa jam setelah aplikasi. Untuk menurunkan kandungan logam-logam dosis yang efektif adalah 10% dengan waktu inkubasi 2-4 hari.

 

6.       Pengaruh Aplikasi BPS terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet di Polibeg

Aplikasi BPS dapat menurunkan konsentrasi sulfat di dalam tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, yang ditunjukkan adanya perubahan pH, C-organik. Pemberian bahan organik sebagai sumber elektron yang diikuti dengan penggenangan untuk memutus suplai oksigen sebagai akseptor elektron akan merangsang aktivitas BPS. Pemberian BPS menurun kandungan sulfat tanah bekas tambang batubara serta meningkatkan pertumbuhan tanaman karet di polibeg setelah satu bulan perlakuan isolat BPS.
Dari hasil penelitian Hanafiah dan A. Rauf (2016), diperoleh 20 isolat BPS yang berasal dari tiga sumber yaitu dari tanah sulfat masam Kuala Simpang, sumber air panas belerang Lau Sidebuk-debuk kab Tanah Karo, dan dari limbah fabrik kertas PT Toba Pulp Lestari Porsea. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa BPS yang diuji pada berbagai pH media tumbuh (postgate cair) mampu meningkatkan pH media tumbuh tersebut.
Pengaruh isolat BPS terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah payung, dan diameter batang setelah tiga bulan perlakuan tertera pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan tanah tambang saja (kontrol 1), pertambahan tinggi tanaman selama tiga bulan hanya 0,72 cm, jumlah payung daun tidak bertambah dan pertambahan diameter batang hanya 0,47 mm, nyata lebih kecil dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya. Pertambahan tinggi tanaman pada semua perlakuan isolat adalah berbeda tidak nyata dibandingkan dengan pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan bahan organik + tanah tambang (kontrol 2). Sementara pada parameter pertambahan jumlah payung dan diameter batang, perlakuan kontrol 2 nyata lebih besar dibandingkan dengan semua perlakuan isolat.

Secara umum dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pertambahan pertumbuhan pada kontrol 2 (bahan organik + tanah tambang, tanpa isolat) adalah berbeda tidak nyata dibandingkan dengan semua perlakuan isolat + tanah tambang + bahan organik. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah pemberian isolat tidak secara nyata mendukung pertumbuhan tanaman. Ketidaknyataan tersebut diduga karena rentang waktu pengamatan yang tergolong singkat (3 bulan) sehingga belum terlihat pengaruhnya. Tanaman tahunan seperti tanaman karet, umumnya respon pertumbuhan nyata dapat dianalisis setelah 6 bulan perlakuan.
Alasan tidak nyatanya perlakuan tersebut juga dapat disebabkan karena pada perlakuan kontrol 2, pH tanah dan C-organik setelah inkubasi adalah relatif sama dan masih netral. Diduga bahwa dalam jangka panjang, perlakuan kontrol tidak bisa dipastikan akan sama dengan pengamatan saat ini. Hal ini dapat dibandingkan dengan data kandungan sulfat. Kandungan sulfat pada perlakuan kontrol (bahan organik dan tanah tambang) dan perlakuan isolat memberikan hasil berbeda nyata. Ini menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia karena penjenuhan dan penambahan bahan organik. Menurut Sembiring dkk. (2016), penjenuhan dan penambahan bahanorganik tetap perlu dilakukan karena reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi sulfida dapat meningkat melalui penjenuhan dan penambahan bahan organik tanah.


DAFTAR PUSTAKA
Atlas, M. R dan  Parks, L. C. 1993. Handbook of Microbiological Media. Boca Raton. USA:        CRC Press.
Hanafiah, Asmarlaili Sahar, and Mazlina A. Rauf. 2016. Potensi Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kadar Sulfat Terlarut Media Tumbuh 3 (3): 235–38.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta, Indonesia: Rajawali Press.
Hardjowigeno, S. 2005. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Jakarta, Indonesia: Akademika Pressindo.
Posumah, D. 2018. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Termofilik Pereduksi Sulfat Di Air Panas Sarongsong Kota Tomonon . Jurnal Biota 4 (1): 36-40.
Stanier, R. Y., Adelberg, E. A dan  Ingraham, J. L. 1982 Dunia Mikrobe I. Jakarta Indonesia:       Bhratara Karya.
Sembiring, Y. R. 2016. Isolasi BAkteri Pereduksi Sulfat Untuk Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Bekas Tambang Batu Bara Dan Pengaruhnya Terhadap Karet Di Polibeg . Jurnal Penelitian Karet 34(2) : 165-174.
Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas    untuk memacu revegetasi lahan [Disertasi] : Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Widyati, E. (2007). Pemanfaatan bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi tanah bekas tambang batubara. Biodiversitas 4 (8) : 283-286
Widyati, E. (2011). Formulasi inokulasi bakteri pereduksi sulfate yang diisolasi dari sludge          industri kertas   untuk mengatasi air asam tambang. Tekno Hutan Tanaman 4 (3) : 119-       125.
Widyati, E.2011. Formulasi Inokulasi Bakteri Pereduksi Sulfate Yang Diisolasi Dari Sludge        Industri Kertas Untuk Mengatasi Air Asam Tambang. Tekno Hutan Tanaman 4 (3): 119    125.
Widyati, E. 2011. Formulasi Inokulasi Bakteri Pereduksi Sulfate Yang Diisolasi Dari Sludge Industri Kertas Untuk Mengatasi Air Asam Tambang. Tekno Hutan Tanaman 4 (3): 119-125.
Widyati, Enny. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. [Disertasi Doktor], Sekolah Pascasarjana IPB: Bogor.
Widyati, Enny. 2007. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara. Biodiversitas. 8 (4) : 283-266.
Yuliana, E. D. 2013. Jenis mineral liat dan perubahan sifat kimia tanah akibat proses reduksi dan oksidasi pada lingkungan tanah sulfat masam. Jurnal Bumi Lestari 12 (2) : 327-337.
Yusron, M. B. (2009). Isolasi dan Idenftifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat Pada Area Pertambangan            Batu Bara Muara Enim, Sumatera Selatan . Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi 9 (1): 26-35.

Sembiring, Yan Riska Venata et al. 2016. Isolasi Bakteri Pereduksi Sulfat Untuk Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Bekas Tambang Batubara Dan Pengaruhnya. 34 (2): 165–74.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bioremediasi In Situ dan Ex Situ

[Resume] Bioremediasi Limbah Cat

Fitoremediasi