[Resume] Bioremediasi Sulfat
Reviewer: Mutiara Safitri & Rina Susanti
1.
Isolasi Bakteri
Pereduksi Sulfat (BPS) Dan Pemurniannya
2.
Aplikasi Bakteri
Pereduksi Sulfat (Bps) Pada Tanaman Karet
3.
Isolasi dan Perbanyakan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
4.
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Bekas Tambang Batubara
Sebelum Perlakuan
5.
Pengaruh Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Sifat Kimia
Tanah Bekas Tambang Batu Bara
6.
Pengaruh Aplikasi
BPS terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet di Polibeg
ISOLASI
BAKTERI PEREDUKSI SULFAT UNTUK MEMPERBAIKI SIFAT
KIMIA
TANAH BEKAS TAMBANG BATUBARA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KARET (Hevea brasiliensis) DI POLIBEG
1.
Isolasi Bakteri
Pereduksi Sulfat (BPS) Dan Pemurniannya
a. Bakteri
Pereduksi Sulfat (BPS)
Bakteri pereduksi sulfat merupakan bakteri obligat
anaerob yang menggunakan H2
sebagai donor elektron (chemolithotrophic). BPS dapat mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi sulfida, selanjutnya
H2S yang dihasilkan dapat
mengendapkan logam-logam toksik (Cu, Zn, Cd) sebagai logam sulfida. BPS memerlukan substrat organik yang berasal dari asam
organic berantai pendek seperti asam
piruvat. Dalam kondisi alamiah, asam tersebut dihasilkan oleh aktivitas anaerob lainnya. Bakteri pereduksi
sulfat tersebar luas di alam, mereka terdapat di tanah, di air, di sedimen dan limbah. Kekhususan dari bakteri pereduksi
sulfat yaitu bakteri pereduksi
sulfat menggunakan sulfat atau hidrogen sebagai akseptor elektron dan umumnya sangat diperlukan untuk
mereduksi sulfat menjadi sulfida. Sehingga
dalam kondisi anaerob, ketersediaan sulfat dalam tanah akan dibatasi
terutama pada pH tanah di atas 5.5 (Posumah, 2018) .
Bakteri pereduksi sulfathidup secara anaerob dan dapat
tumbuh padakisaran pH 2 sampai pH 9, tetapi optimalnya pada pH 7. Dalam
prosesnya, BPS mereduksi sulfat menjadi sulfida yang tidak larut sebagai bagian dari aktivitas metabolismenya.
Sulfida mengendap, kandungan logam hilang
dari air. Di samping itu, sejumlah spesies BPS dapat mengurangi beberapa logam yang sulit ditangani seperti
mereduksi uranium (VI) (larut) menjadi uranium
(IV) (tidak larut).
b. Mekanisme
Bakteri Pereduksi Sulfat
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan sulfat
sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan
organik sebagai sumber karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai
donor elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan penyusun selnya. Pada
kondisi anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor electron. Ketika
sulfat menerima elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi
membentuk senyawa sulfida. Penurunan konsentrasi sulfat akan meningkatkan pH
tanah. Hal ini terjadi karena beberapa proses yang saling berkaitan, yaitu
karena penggenangan, penambahan bahan organik dan aktivitas BPS. Meningkatnya
pH terjadi karena BPS menggunakan sulfat sebagai aseptor elektron dan karbon
(C) dari kompos sebagai donor elektron dengan
menghasilkan hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida akan segera berikatan
dengan logam membentuk logam sulfida yang tidak larut sehingga ketersediaan
logam turun. Keseluruhan reaksi reduksi sulfat dan logam yang melibatkan BPS.
Meskipun Bakteri Pereduksi Sulfat menggunakan sulfat sebagai terminal akseptor
elektron, BPS juga mampu menggunakan berbagai jenis akseptor elektron untuk
pertumbuhan dan memfermentasikan substrat yang tidak tersedia akseptor elektron
inorganik. BPS dapat mereduksi senyawa sulfur lain (thiosulfat,sulfit, dan
sulfur) menjadi sulfida atau dapat mereduksi nitrat menjadi amonium. Senyawa
lain yang merupakan akseptor elektron untuk beberapa BPS termasuk besi
(Fe(III)), uranium (U(VI)), selenat(Se(VI)), chromat (Cr(VI)), dan arsenat
(As(VI)). Bagaimanapun, tidak semua proses reduksi sesuai untuk pertumbuhan (Yusron, 2009) .
c. Isolasi Bakteri
Pereduksi Sulfat (BPS) dan Pemurniannya
Menurut Sembiring
(2016) yang menyatakan bahwa, sumber isolasi BPS yang digunakan adalah
sewage sludge, sludge industry kertas yang diambil dari pabrik kertas di Riau,
dan rumen sapi. Isolasi BPS dilakukan dengan komposisi media Postgate B yang
disederhanakan. Komposisi untuk satu liter media cair Postgate B terdiri atas
natrium laktat (8 mL), magnesium sulfat (1,0 g), ammonium klorida (0,5 g),
kalium dihidrogen fosfat (1,0 g), besi fosfat (0,1 g) dan asam askorbat (0,5
g), glukosa (0,1 g), kalsium klorida (0,1 g), natrium sulfat (0,5 g), dan
ekstrak khamir (0,1 g). Pengaturan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat
sebelum disterilisasi selanjutnya dihomogeniasai dengan vortex dan -6 -3
dilakukan pengenceran 10 dan 10 dengan dua kali ulangan. Biakan BPS diinkubasi
pada inkubator sampai 10 hari. Tumbuhnya BPS ditandai dengan berubahnya media
menjadi warna hitam. Isolat yang terbentuk kemudian dimurnikan pada media
Postgate cair.
Pemurnian isolat dilakukan dengan metode pengencer.
Isolat yang diperoleh dikocok dengan baik hingga terbentuk suspensi. Tingkat
pengenceran sepuluh kali dilakukan dengan memindahkan secara aseptik 1 mL
suspensi mikrob ke dalam tabung yang
berisi 9 mL larutan fisiologi 0,85% lalu dihomogenisasi. Suspensi tersebut
diencerkan lebih lanjut dengan cara yang sama hingga pada tingkat pengenceran12
10 . Suspensi dipindahkan secara aseptic sebanyak 1 mL ke dalam tabung ulir
yang telah berisi media cair steril 1/3 bagian, lalu media ditambahkan secara
perlahan-lahan hingga penuh dan ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu 35 C.
Pengamatan dilakukan terhadap waktu pertumbuhan biakan mulai dari munculnya
warna hitam hingga seluruh tabung menghitam. Isolat yang tumbuh pada tingkat
pengenceran terakhir diindikasikan sebagai biakan dengan satu jenis sel BPS (Sembiring, 2016) .
2.
Aplikasi Bakteri
Pereduksi Sulfat (Bps) Pada Tanaman Karet
Lokasi
penelitian ini terletak di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi-Kota Sawah
Lunto, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi tersebut merupakan lahan bekas tambang
batubara dengan sistem tambang terbuka yang telah ditinggalkan perusahaan besar
selama ±4 tahun. Pengambilan tanah sebagai media tumbuh dilakukan dengan diayak
menggunakan saringan berukuran 25 mesh dan dimasukkan ke dalam polibeg
yang berukuran 40 x 50 cm (ukuran terlipat). Selanjutnya tanah bekas tambang
batubara dicampur dengan bahan organik, perbandingan volume 1 bahan organik dan
3 tanah bekas tambang anaerob jar) sebagai media tumbuh tanaman polibeg.
Pemberian bahan organik bertujuan untuk memicu perkembang-biakan dan sumber C
untuk BPS. Selanjutnya tanah yang telah dicampur bahan organik, harus
dijenuhkan terlebih dahulu sebelum aplikasi BPS. Penjenuhan dilakukan dengan
penambahan air steril sampai berbentuk pasta atau lumpur. Tujuan
penjenuhan adalah untuk menjaga kondisi anaerob agar BPS dapat tumbuh.
Selanjutnya setiap polibeg diaplikasikan isolat BPS sebanyak 5 satu liter
(kerapatan bakteri 10 ), dan diinkubasi selama 10 hari (Widyati, 2007).
Tujuan
inkubasi adalah untuk menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang
batubara sebelum dilakukan penanaman karet. Dilakukan penambahan air sebanyak
1500 ml untuk mempertahankan kejenuhan
air dan kondisi anaerob sehingga mikroba dapat bekerja optimum. Adapun
perlakuan yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1. Isolat A + bahan organik + tanah bekas
tambang batubara
2. Isolat B + bahan organik + tanah bekas
tambang batubara
3. Isolat D + bahan organik + tanah bekas
tambang batubara
4. Bahan organik + tanah bekas tambang
batubara dengan perbandingan 1:3 (v/v) atau
kontrol 2
5. Tanah bekas tambang batubara (100%) atau
kontrol 1
Penanaman
tanaman karet dilakukan setelah proses penjenuhan dan inkubasi BPS selam 10
hari. Tanaman karet yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman karet
klon PB 60 dengan stadia 2 payung. Parameter pengamatan di polibeg meliputi
tinggi tanaman (dari pertautan okulasi), jumlah payung daun, dan diameter
batang karet (diukur pada ketinggian 10 cm) yang dilakukan pada awal sebelum
tanam dan tiga bulan setelah tanam. Sedangkan untuk tanah bekas tambang
batubara dilakukan analisis sifat kimia dan fisik mencakup pH, unsur hara, KTK,
KB, dan kandungan sulfat sebelum perlakuan. Setelah perlakuan dilakukan
analisis kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara tersebut.
3.
Isolasi dan Perbanyakan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan tiga isolate BPS. Dua isolat dari sludge industri
kertas dan satu isolat dari sewage industri kertas,tidak didapatkan isolat dari
rumen sapi. Isolat dikarakterisasi menjadi tiga kelompok isolat, yaitu Isolat A berwarna hitam yang terletak di dasar
tabung ,Isolat B bewarna hitam merata penuh didapatkan dari sludge industri
kertas,,dan Isolat D berwarna hitam dengan kecoklatan merata( dari sewage
sludge industri kertas
Gambar 1. Isolat BPS yang diisolasi dari sludge industri
kertas dan sewage sludge
Isolat yang didapatkan dalam penelitian ini merupakan
isolat BPS karena dilihat dari adanya perubahan warna media yang digunakan
yaitu media selektif Postgate B menjadi hitam. Identifikasi bakteri ini sesuai
dengan metode yang disampaikan oleh Atlas & Parks (1993) dan Stanier et al
(1982). Hasil isolate yang sama juga terdapat dalam penelitian Widyati (2011)
bahwa karakterisasi isolate BPS dari sludge industri kertas terbagi menjadi 4
kelompok yaitu isolat 1 berwarna hitam dengan keabu-abuan, isolat 2 berwarna
hitam dasarnya coklat), isolat 3 berwana hitam penuh dan isolat 4 berwarna
hitam berdasar abu-abu di dasar tabung serta isolat 4 yang paling efektif mudah
diaplikasikan di lapangan. Perbanyakan
yang telah dilakukan terhadap ketiga isolat dalam media kompos steril
menghasilkan masing-masing isolate sebanyak ±40 liter Biakan BPS yang tumbuh
ditandai dengan terbentuknya gelembung di permukaan bahan organik.
Gambar
2.Perbanyakan isolat dalam carrier kompos
steril
4.
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Bekas Tambang Batubara
Sebelum Perlakuan
Sifat
fisik dan kimia tanah bekas tambang batubara tertera pada Tabel 1. Dilihat dari
tekstur tanah (fraksi pasir, debu, liat), untuk perkebunan karet masih kurang
sesuai. Hal ini dikarenakan nilai fraksi pasir masih relatif tinggi. Tanah
bekas bertekstur pasir memiliki Kapasitas Tukar kation (KTK) yang rendah dan
kandungan pirit yang tinggi. KTK merupakan kapasitas tanah untuk menjerap dan
mempertukarkan kation. Koloid anorganik (liat) dan koloid organik (bahan
organik) berperan aktif dalam pertukaran dan penjerapan kation (Hanafiah,
2005).
Ditinjau
dari sifat kimianya, Tabel 1 menunjukkan tingkat kesuburan tanah rendah.
Berdasarkan kriteria penilaian tanah dalam Hardjowigeno (1995), sampel tanah
bekas tambang menunjukkan pH yang sangat masam. Pada perkebunan karet, pH tanah
3,3 merupakan ambang bat as mi ni mal ,
sehi ngga di per l ukan perlakuan untuk meningkatkan pH tanah. pH yang
rendah mengganggu serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman melalui
ketersediaan unsur hara dan unsur yang bersifat racun bagi tanaman, serta
menyebabkan kandungan C-organik pada tanah bekas tambang batubara juga rendah,
yaitu hanya 0,65%. Ketersediaan hara dan kation-kation yang dapat ditukar pada
tanah bekas tambang batubara sangat rendah, serta kandungan sulfat yang tinggi.
Begitupun
kandungan unsur alkali tanah, seperti Ca, Mg, Na, dan K pada areal bekas
tambang rendah. Profil tanah terganggu
akibat pengerukan, penimbunan, dan pemadatan alat-alat berat. Hal ini
mengakibatkan buruknya sistem tata air dan aerasi yang secara langsung
mempengaruhi perkembangan akar. Perkembangan akar tanaman Acacia mangium
pada lahan bekas tambang batu bara di Kalimantan Timur terhambat akibat
buruknya sistem tata air dan aerasi akibat kondisi tanah yang kompak (Istomo,
Setiadi, & Putri, 2013).
Tekstur
tanah menjadi rusak sehingga mempengaruhi kapasitas tanah untuk menampung
air dan nutrisi. Akibat pemadatan tanah
menyebabkan pada musim kering tanah menjadi padat dan keras. Kondisi kimia
lahan bekas tambang penambangan menunjukkan bahwa kesuburan tanah, pH, dan
keberadaan hara dalam tanah rendah, sedangkan keberadaan sulfat tinggi, karena
larutan dari metal sulfida. pH tanah yang sangat rendah menyebabkan rusaknya
sistem penyerapan unsur P, Ca, Mg, dan K, serta toksisitas tanah. Keasaman sisa
penambangan dapat meningkatkan kandungan total unsur Fe, senyawa yang berasal
dari rusaknya tanah akibat hujan yang menghasilkan sulfur (Pattimahu, 2004).
5.
Pengaruh Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Sifat Kimia
Tanah Bekas Tambang Batu Bara
Hasil penelitian Widyati (2006)
menunjukkan bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara PT. Bukit
Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam
jauh di atas ambang batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang
demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan kehidupan lainnya. Disamping
itu, kondisi tanah yang demikian degraded, mengakibatkan kegiatan
revegetasi memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih dahulu dalam
mengendalikan AMD adalah memperbaiki kondisi tanah. Salah satu metode yang
ramah lingkungan adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan
mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang dihasilkan untuk
mengembalikan kondisi lingkungan dengan cara mengeliminasi kontaminan.
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat di definisikan sebagai
proses membershikan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant)
secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup baik mikroorganisme
(mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Yuliana, 2013).
Kelompok mikroba yang dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah bekas tambang batubara adalah
bakteri pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS dapat
mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera berikatan dengan logam-logam
yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk
logam sulfida yang reduktif (Widyati 2007). Peranan mikroba bisa sebagai
biokatalisator AMD dan sebagai agen Biomining. Asam sulfat merupakan
asam kuat sehingga akan menurunkan pH tanah dan air secara drastis. Menurunnya
pH dapat meningkatkan kelarutan logam-logam. Menurunnya pH dan hilangnya bahan
orgnik (akibat penambangan terbuka) akan memicu inisiasi bakteri pengoksidasi
sulfur (BOS) seperti Thiobacillus sp.,Leptospirillum sp., Sulfolubus sp.,
dan Ferroplasma sp. Mikroba rtersebut suka asam (acidophilic),
menggunakan sumber C dari bahan anorganik (lithotroph atau ototrof)
dan menggunakan sumber energy dari oksigen (Widyati, 2011).
Namun demikian, BOS dapat
dimanfaatkan untuk “memanen” sisa logam yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
seperti tembaga, seng, nikel, bahkan dapat melepaskan emas dan perak dari
mineral pirit. Kelompok mikroba tersebut dikernal dengan istilah “mikroba
penambang” atau biomer dan aktivitas penambangan dengan menggunakan
mikroba disebut boomining. Biomining adalah istilah untuk memfasilitasi
ekstraksi logam-logam dari mineral bersulfur atau yang mengandung besi dengan
menggunakan mikroba (Yuliana, 2013).
Pada tanah bekas tambang dijumpai
logam-logam yang awalnya berada dalam kondisi reduktif yang berikatan dengan
sulfide membentuk mineral yang kompleks. Namun demikian logam-logam tersebut
menjadi tersedia karena teroksidasi akibat bereaksi dengan udara dan atau air.
Logam-logam Fe, Mn, Zn, Cu, Ni, dan sebagainya banyak dijumpai pada lahan bekas
tambang. Di samping itu, pada pertambangan yang memerlukan pemurnian bijih
banyak dijumpai logam-logam berat seperti arsen (As), merkuri (Hg) atau bahan
berbahaya lainnya misalnya sianida (CN). Salah satu spesies mikroba yang
terbukti mampu melakukan bioremediasi sianida adalah Pseudomonas
pseudoalcaligenes yang dapat menurunkan ketersediaan CN pada kolam tailing
sampai 90% dlam waktu 2-3 hari pada pH 10,5 (Hardjowigeno, 2005).
Akar permasalahan pada lahan bekas
tambang terbuka (misalnya pada lahan bekas batubara) yaitu sangat rendahnya pH
akibat akumulasi sulfat pada meningkatnya kelarutan logam-logam. Oleh karena itu
kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan yang demikian harus dimulai dengan
penurunan konsentrasi sulfat dan pencegahan oksidasi mineral sulfide lebih
lanjut. Kelompok bakteri pereduksi sulfat (BPS) dapat dimanfaatkan untuk
mereduksi sulfat (Widyati, 2006).
Hasil penelitian Widyati (2006),
menunjukan bahwa BPS dapat digunakan untuk mereduksi sulfat pada tanah bekas
tambang batubara dengan efisiensi 80% dalam waktu 10 hari. Di samping itu,
inoculum BPS dengan dosis inoculum 25% dari total volume tanah tersebut dapat
menurunkan ketersediaan Fe, Mn, Zn, dan Cu dengan efisiensi mencapai 90% dengan
waktu inkubasi 15 hari. Aplikasi pada air asam tambang (AAT) menunjukkan bahwa
penambahan inokululm BPS 1% dari volume AAT dapat meningkatkan pH menjadi
netral hanya dalam waktu beberapa jam setelah aplikasi. Untuk menurunkan
kandungan logam-logam dosis yang efektif adalah 10% dengan waktu inkubasi 2-4
hari.
6.
Pengaruh Aplikasi
BPS terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet di Polibeg
Aplikasi BPS dapat menurunkan konsentrasi sulfat di
dalam tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, yang ditunjukkan adanya perubahan
pH, C-organik. Pemberian bahan organik sebagai sumber elektron yang diikuti
dengan penggenangan untuk memutus suplai oksigen sebagai akseptor elektron akan
merangsang aktivitas BPS. Pemberian BPS menurun kandungan sulfat tanah bekas
tambang batubara serta meningkatkan pertumbuhan tanaman karet di polibeg
setelah satu bulan perlakuan isolat BPS.
Dari hasil penelitian Hanafiah dan A. Rauf (2016), diperoleh 20
isolat BPS yang berasal dari tiga sumber yaitu dari tanah sulfat masam Kuala
Simpang, sumber air panas belerang Lau Sidebuk-debuk kab Tanah Karo, dan dari
limbah fabrik kertas PT Toba Pulp Lestari Porsea. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa BPS yang diuji pada berbagai pH media tumbuh (postgate cair)
mampu meningkatkan pH media tumbuh tersebut.
Pengaruh isolat BPS terhadap pertambahan tinggi
tanaman, jumlah payung, dan diameter batang setelah tiga bulan perlakuan
tertera pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan tanah
tambang saja (kontrol 1), pertambahan tinggi tanaman selama tiga bulan hanya
0,72 cm, jumlah payung daun tidak bertambah dan pertambahan diameter batang
hanya 0,47 mm, nyata lebih kecil dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya.
Pertambahan tinggi tanaman pada semua perlakuan isolat adalah berbeda tidak
nyata dibandingkan dengan pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan bahan
organik + tanah tambang (kontrol 2). Sementara pada parameter pertambahan
jumlah payung dan diameter batang, perlakuan kontrol 2 nyata lebih besar
dibandingkan dengan semua perlakuan isolat.
Secara umum dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pertambahan
pertumbuhan pada kontrol 2 (bahan organik + tanah tambang, tanpa isolat) adalah
berbeda tidak nyata dibandingkan dengan semua perlakuan isolat + tanah tambang
+ bahan organik. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah
pemberian isolat tidak secara nyata mendukung pertumbuhan tanaman.
Ketidaknyataan tersebut diduga karena rentang waktu pengamatan yang tergolong
singkat (3 bulan) sehingga belum terlihat pengaruhnya. Tanaman tahunan seperti
tanaman karet, umumnya respon pertumbuhan nyata dapat dianalisis setelah 6
bulan perlakuan.
Alasan
tidak nyatanya perlakuan tersebut juga dapat disebabkan karena pada perlakuan
kontrol 2, pH tanah dan C-organik setelah inkubasi adalah relatif sama dan
masih netral. Diduga bahwa dalam jangka panjang, perlakuan kontrol tidak bisa
dipastikan akan sama dengan pengamatan saat ini. Hal ini dapat dibandingkan
dengan data kandungan sulfat. Kandungan sulfat pada perlakuan kontrol (bahan
organik dan tanah tambang) dan perlakuan isolat memberikan hasil berbeda nyata.
Ini menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis oleh BPS lebih
efisien daripada proses reduksi secara kimia karena penjenuhan dan penambahan
bahan organik. Menurut Sembiring dkk. (2016), penjenuhan dan
penambahan bahanorganik tetap perlu dilakukan karena reaksi reduksi sulfat oleh
BPS menjadi sulfida dapat meningkat melalui penjenuhan dan penambahan bahan
organik tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, M. R dan Parks, L. C. 1993. Handbook of Microbiological
Media. Boca Raton. USA:
CRC
Press.
Hanafiah, Asmarlaili Sahar, and Mazlina A. Rauf. 2016. Potensi
Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kadar Sulfat Terlarut Media Tumbuh 3 (3):
235–38.
Hanafiah,
K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta, Indonesia: Rajawali Press.
Hardjowigeno,
S. 2005. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Jakarta, Indonesia: Akademika
Pressindo.
Posumah, D. 2018.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Termofilik Pereduksi Sulfat Di Air Panas
Sarongsong Kota Tomonon . Jurnal Biota 4 (1): 36-40.
Stanier, R. Y., Adelberg, E. A dan Ingraham, J. L. 1982 Dunia Mikrobe I.
Jakarta Indonesia: Bhratara Karya.
Sembiring, Y. R. 2016.
Isolasi BAkteri Pereduksi Sulfat Untuk Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Bekas
Tambang Batu Bara Dan Pengaruhnya Terhadap Karet Di Polibeg . Jurnal
Penelitian Karet 34(2) : 165-174.
Widyati,
E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri
kertas untuk memacu revegetasi lahan [Disertasi] : Institut Pertanian Bogor,
Indonesia.
Widyati,
E. (2007). Pemanfaatan bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi tanah bekas tambang batubara. Biodiversitas 4 (8) : 283-286
Widyati,
E. (2011). Formulasi inokulasi bakteri pereduksi sulfate yang diisolasi dari
sludge industri kertas untuk mengatasi air asam tambang. Tekno
Hutan Tanaman 4 (3) :
119- 125.
Widyati, E.2011. Formulasi Inokulasi
Bakteri Pereduksi Sulfate Yang Diisolasi Dari Sludge Industri
Kertas Untuk Mengatasi Air Asam Tambang. Tekno Hutan Tanaman 4 (3): 119 125.
Widyati,
E. 2011. Formulasi Inokulasi Bakteri Pereduksi Sulfate Yang Diisolasi Dari
Sludge Industri Kertas Untuk Mengatasi Air Asam Tambang. Tekno Hutan Tanaman
4 (3):
119-125.
Widyati,
Enny. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan Sludge Industri
Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. [Disertasi Doktor], Sekolah
Pascasarjana IPB: Bogor.
Widyati,
Enny. 2007. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah Bekas
Tambang Batubara. Biodiversitas. 8 (4) : 283-266.
Yuliana,
E. D. 2013. Jenis mineral liat dan perubahan sifat kimia tanah akibat proses
reduksi dan oksidasi pada lingkungan tanah sulfat masam. Jurnal Bumi Lestari 12 (2) : 327-337.
Yusron, M. B. (2009). Isolasi dan Idenftifikasi
Bakteri Pereduksi Sulfat Pada Area Pertambangan Batu Bara Muara Enim, Sumatera Selatan . Jurnal
Matematika, Sains dan Teknologi 9 (1): 26-35.
Sembiring, Yan Riska Venata et al. 2016. Isolasi
Bakteri Pereduksi Sulfat Untuk Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Bekas Tambang
Batubara Dan Pengaruhnya. 34 (2): 165–74.
Komentar
Posting Komentar