Mikroba dalam Bioremediasi

      Seperti yang kita ketahui bahwa bioremediasi adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan efek toksisitas pada suatu lingkungan tercemar dengan menggunakan agen biologi. Agen biologi tersebut dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme. 
     Pemilihan mikroba sebagai agen bioremediasi tidak dilakukan secara acak tanpa dasar yang jelas. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan mikroba yang sesuai sebagai agen bioremediasi. Mikroba harus cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang drastis. Karena jika adaptasi tidak dilakukan dengan cepat, maka mkroba tersebut akan kehilangan kemampuan untuk bertahan di lingkungan baru tersebut. Selanjutnya, mikroba harus memiliki laju pertumbuhan yang cepat atau dapat dikatakan cepat dalam proses reproduksi. Hal ini agar diperoleh mikroba dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga proses bioremediasi dapat dilakukan dengan optimal.
      Berikut ini beberapa contoh mikroba yang dapat digunakan sebagai agen bioremediasi.

1. Bacillus subtilis
      Bacillus subtilis adalah bakteri Gram positif, berbentuk batang dan bersifat katalase-positif. Awalnya bakteri ini bernama Vibrio subtilis oleh Christian Gottfried Ehrenberg, lalu berganti nama menjadi Bacillus subtilis oleh Ferdinand Cohn pada tahun 1872. Sel B. subtilis biasanya berbentuk batang, berdiameter sekitar 4-10 mikrometer (μm) dan 0,25-1,0 μm, dengan volume sel sekitar 4,6 fL pada fase diam. Seperti anggota genus Bacillus lainnya, bakteri ini dapat membentuk endospora untuk bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrem dari suhu dan pengeringan. B. subtilis adalah anaerob fakultatif dan telah dianggap sebagai aerob obligat sampai tahun 1998. B. subtilis sangat terdepresiasi, yang memberinya kemampuan untuk bergerak cepat dalam cairan.

   Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mendegradasi hidrokarbon pada minyak bumi serta menyisihkan trivalent chromium pada limbah cair.
    Mekanisme bakteri Bacilus subtilis dalam mendegradasi hidrokarbon pada minyak bumi adalah sebagai berikut: 
  • Selama aktivitas berlangsung bakteri mengeluarkan metabolit-metabolit ke dalam media berupa asam, surfaktan dan gas yang dapat mempengaruhi lingkungannya diantaranya asam menurunkan pH dan surfaktan menurunkan tegangan antar muka media
  • Penurunan tegangan antar muka media menyebabkan minyak terdispersi dan memperbesar kontak permukaan antara  bakteri dan minyak sehingga akan terjadi peningkatan biodegradasi hidrokarbon minyak bumi.
  • Sebelum biodegradasi berlangsung, hidrokarbon minyak  bumi akan masuk ke dalam sitoplasma bakteri. Proses selanjutnya, bakteri memproduksi enzim yang dapat mendegradasi hidrokarbon minyak bumi. Enzim mendegradasi senyawa tersebut dengan cara mengeksploitasi kebutuhan bakteri akan energi. Selama pertumbuhan bakteri akan mengeluarkan enzim yang akan bergabung dengan substansi membentuk senyawa kompleks enzim-substansi, kemudian terurai menjadi produk lain. Enzim tidak habis dalam reaksi tersebut tetapi dilepaskan kembali untuk reaksi selanjutnya dengan substansi lainnya. Proses ini terjadi berulang-ulang sampai semua substansi yang tersedia terpakai.
  • Tingkat kemudahan hidrokarbon minyak bumi didegradasi oleh bakteri tergantung kepada struktur dan bobot molekulnya. Secara umum kemampuan biodegradasi naik dengan kenaikan panjang rantai. Selama  proses biodegradasi terjadi perombakan fraksi parafinik, naftenik dan aromatik. Parafinik merupakan fraksi yang paling mudah didegradasi sedangkan naftenik dan aromatik lebih sulit. Kemampuan bakteri mendegradasi hidrokarbon minyak  bumi berbeda-beda.
       Contoh kasusnya adalah dari penelitian yang dilakukan Marsya Dyasthi Putri, Firdaus Ali, dan Zulkifliani dari Fakultas teknik Universitas Indonesia dengan judul ‘Bioremediasi tanah yang terkontaminasi minyak bumi dengan metode bioventing terhadap penurunan kadar total petroleum hyrocarbon dan btex’ dimana tanah yang digunakan berasal dari PPPTMGB Lemigas Jakarta dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis. Dimana hasilnya menunjukan bahwa penambahan bakteri Bacillus subtilis pada proses bioremediasi dapat meningkatkan proses degradasi hidrokarbon pada tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Proses bioremediasi dengan metode bioventing dapat menurunkan TPH (Total petroleum hydrocarbon (pengukuran konsentrasi pencemar hidrokarbon minyak bumi dalam tanah atau serta seluruh pencemar hidrokarbon minyak dalam suatu sampel tanah yang sering dinyatakan dalam satuan mg hidrokarbon/kg tanah) ) dari 5% sampai 0,5% selama 5 minggu untuk konsentrasi 10% v/v dan dari 5% sampai 1,21% selama 5 minggu untuk konsentrasi 15% v/v. Hal tersebut sudah memenuhi baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 yaitu kandungan TPH sebesar 1%. Injeksi udara dan penambahan bakteri pada proses bioremediasi dapat menurunkan kadar kontaminan hidrokarbon aromatik berupa BTEX (senyawa yang ditemukan dalam minyak bumi produk) dengan kadar penurunan (% Biodegradasi) paling besar dari perlakuan Control 2 sebesar 66,65%, Konsentrasi Bakteri 15% v/v sebesar 37,69%, Konsentrasi Bakteri 10% v/v sebesar 34,41%, dan Control 1 sebesar 23,40%.

2. Pseudomonas aeruginosa


Mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri Pseudomonas
Hidrokarbon Alifatik
     Pseudomonas aeruginosa menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas aeruginosa meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi. Reaksi lengkap dalam proses ini terlihat pada gambar 1.


Hidrokarbon Aromatik
       Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat. Gambar 2 menunjukkan reaksi perubahan senyawa benzena menjadi katekol.

        Contoh kasusnya adalah dari penelitian yang telah dilakukan Lusiana Riski Yulia, Bindanetty Mars dan Sri Rachmania Juliastuti dari Jurusan Tekhnik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan judul “Bioremediasi Air Laut Terkontaminasi Minyak Bumi dengan Menggunakan Bakteri” Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perbandingan konsentrasi kontaminan terhadap konsentrasi mikroorganisme pada degradasi kadar TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) dan BTX (Benzene, Toluene, dan Xylene) yang terkandung dalam air laut buatan tercemar minyak bumi dengan menggunakan Pseudomonas aeruginosa,serta mengetahui pengaruh aerasi dan tanpa-aerasi pada degradasi kadar TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) dan BTX (Benzene, Toluene, dan Xylene) dalam proses bioremediasi. Metode yang digunakan adalah metode bioremediasi ex situ dengan menggunakan air laut buatan yang tercemar minyak bumi dari lokasi pengeboran minyak Pusdiklat Migas Cepu. Biakan murni bakteri yang digunakan adalah Pseudomonas aeruginosa. Variabel yang digunakan adalah konsentrasi penambahan mikroba Pseudomonas aeruginosa sebanyak 0%; 1%; 3% (v/v), konsentrasi cemaran minyak bumi 1000 ppm dan 1500 ppm serta media aerasi dan media tanpa aerasi. Penelitian ini berlangsung secara batch dengan menjaga suhu pada kisaran 27-300C dan pH 6-8. Dari hasil penelitian didapatkan hasil terbaik pada bioreaktor dengan penambahan Pseudomonas aeruginosa sebanyak 3%(v/v), media teraerasi dan konsentrasi cemaran minyak 1000 ppm dengan % biodegradasi TPH yang dicapai sebesar 100% dalam waktu 21 hari dan degradasi senyawa BTX (Benzene, Toluene, Xylene) seluruhnya dalam waktu 14 hari.

3. Chlorella sp
       Chlorella adalah genus ganggang hijau sel tunggal milik divisi Chlorophyta. Alga ini berbentuk bola, diameternya sekitar 2-10 μm, dan tanpa flagela. Chlorella mengandung pigmen fotosintesis hijau klorofil a dan b dalam kloroplasnya. Melalui fotosintesis, ia berkembang biak dengan cepat, hanya membutuhkan karbon dioksida, air, sinar matahari, dan sejumlah kecil mineral untuk diproduksi kembali.
      Kemampuan remediasi logam berat oleh alga sangat baik bila di bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena struktur dinding sel alga terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida.  Kemampuan tumbuh Chlorella sp pada lingkungan tercemar Chlorella sp  karena  memiliki Phytohormon dan Polyamine untuk adaptasi pada ekosistim air yang tercemar dengan logam berat (Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & Żyłkiewiczb, 2012). Kemampuan Chlorella sp dalam menyerap logam berat ini didukung dengan kemampuan beradaptasi, bertumbuh dan juga ekonomis untuk di jadikan Agen remediasi pada lingkungan tercemar. Selain dapat digunakan juga untuk bioremediasi logam berat mikroalga chlorella sp juga dapat di gunakan untuk sebagai prekursor biodiesel karena mengandung 20-50% lemak (Mata, Martins, & Caetano, 2010) .
     Pemanfaatan mikroalga yang dapat menyerap logam berat di Teluk Buyat.. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental laboratorium yang kemudian diterapkan ke lapangan. Mikroalga yang digunakan adalah Chlorella sp yang diperoleh dari stok murni dari Laboratorium setempat dan yang kemudian dikultur. Kondisi lingkungan mempengaruhi tumbuh dari Chlorella sp dimana untuk pertumbuhan terbaik Chlorella sp pada salinatas 25%, Suhu 17, 20, dan 23 oC dan juga intensitas cahaya 4500 Lux.
     Kondisi lingkungan yang ada di teluk Buyat terkadang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan untuk hidup Chlorella sp. Maka dari itu bagaimana caranya supaya Chlorella sp mampu bertahan hidup di kondisi lingkungan yang terdapat di Teluk Buyat.

Gambar 1. Alga Chlorella sp sebagai salah satu alternatif bioremediasi logam berat di Teluk Buyat
        Dengan adanya teknik seperti itu, Chlorella sp di duga mampu menyerap logam berat yang ada di Teluk Buyat. Selain itu penelitian tersebut mendapatkan hasil seperti penyerapan logam berat tertinggi terlihat berturut turut adalah Cr sebesar 33% , Cu sebesar 29 %, Cd sebesar 15% dan Zn sebesar 8% pada hari ke-7, dalam kondisi medium (salinitas 34%, pH 7 dan kandungan Oksigen terlarut 8 mg/L).
       Pada beberapa jurnal lain meyebutkan bahwa penyerapan logam berat paling tinggi oleh Chlorella sp adalah Cd dibandingkan dengan Pb dan Cu (Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & Żyłkiewiczb, 2012) tetapi pada percobaan ini penyerapan tertinggi justru terjadi pada logam Cr dan Cu. (Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & Żyłkiewiczb, 2012) menyebutkan juga bahwa penyerapan logam berat dapat menurunkan tetapi pada percobaan ini berbeda misalnya pada logam jenis Cr pada hari ke 5 pH 7.1 tetapi pada hari ke 7 terjadi kenaikan pH 7.2 ini juga terjadi pada perlakuan yang lain menyebutkan bahwa kondisi lingkungan untuk pertumbuhan Chlorella sp adalah pada salinitas 15 dan 35% tetapi untuk pertumbuhan terbaik Chlorella sp adalah pada 25% salinitas dan Alga juga bertumbuh pada suhu 17, 20, dan 23 oC tetapi alga akan bertumbuh lambat pada suhu 26, 29, 32 dan 14 oC.
         Kemampuan remediasi logam berat oleh alga Chlorella spsangat baik bila di bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena struktur dinding sel alga terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida. Meskipun tidak semua logam berat dapat terdegradasi semua namun setidaknya dapat mengurangi logam berat yang terdapat dalam perairan Teluk Buyat.

4. Saccharomyces cerevisiae transgenik
       Penemuan penemuan ini menyediakan sel ragi Saccharomyces cerevisiae yang terisolasi dan dimurnikan yang terdiri dari (a) gen ACR3 yang terganggu pada sel yeast tersebut, dimana gangguan tersebut menyebabkan pengurangan aktivitas Acr3p pada sel yeast S. cerevisiae transgenik dibandingkan dengan organisme lain yang sesuai dengan S. cerevisiae, dan (b) sekuens DNA terisolasi yang terdiri dari promotor yang secara operasional terkait dengan molekul asam nukleat yang mengkodekan protein faktor resistansi kadmium ragi Ycf1p, dimana sel ragi S. cerevisiae transgenik melampaui Ycf1p dibandingkan dengan wild yang sesuai Sel ragi S. cerevisiae, seperti bahwa overexpression Ycf1p dan reduksi aktivitas Acr3p menyebabkan sel ragi S. cerevisiae transgenik melakukan hiperplisit setidaknya satu logam berat, misalnya As (V), As (III), kadmium (Cd (II)), antimon (Sb (V), Sb (III)), merkuri (Hg (II)), dan / atau timbal (Pb (II)), dari media berair. Pengurangan aktivitas Acr3p dapat, misalnya, pengurangan kemampuan sel ragi S. cerevisiae transgenik untuk mengusir As (III), misalnya ekstrusi As (III) dari sel kembali ke media berair.
     Ekspresi gen ACR3 dari sel ragi S. cerevisiae transgenik dapat terganggu, misalnya dengan inaktivasi insertional, misalnya rekombinasi homolog gen ACR3 dengan urutan DNA heterolog.
        Sebaiknya, overexpression Ycf1p pada sel ragi S. cerevisiae transgenik juga dapat diinduksi. Sel ragi S. cerevisiae transgenik dari penemuan ini selanjutnya dapat terdiri dari vektor terisolasi yang terdiri dari promotor yang dapat dioperasikan terkait dengan molekul asam nukleat kedua yang terdiri dari gen ACR2, yang mengkodekan Acr2p. Sel ragi S. cerevisiae transgenik semacam itu dapat melakukan overexpress Acr2p dibandingkan dengan sel ragi S. serevisiae tipe liar yang sesuai, sehingga pengurangan As (V) ke As (III) pada sel ragi S. cerevisiae transgenik bukanlah tingkat membatasi langkah dalam detoksifikasi arsenik pada sel ragi.
       Penemuan ini selanjutnya menyediakan metode untuk bioremediasi air yang terdiri dari ion logam berat yang terdiri dari (a) kontak, di dalam bioreaktor, air dengan ragi S. cerevisiae transgenik dari penemuan ini, dimana kontak tersebut efektif untuk mengurangi jumlah logam berat ion di dalam air; dan (b) memantau konsentrasi ion logam berat di dalam air sebelum dan sesudah kontak.

          Contoh kasusnya adalah dari penelitian yang telah dilakukan oleh Polina Geva, Rotem Kahta, Faina Nakonechny dan Stella Aronov dari Artikel penelitiannya yang dipublish menjadi Jurnal Internasional Environ Sci Pollut Res dengan judul “Increased copper bioremediation ability of new transgenic and adapted Saccharomyces cerevisiae strains” . telah kita ketahui sebelumnya bahwa polusi lingkungan dengan logam berat merupakan masalah ekologi yang sangat serius, yang dapat diatasi dengan bioremediasi ion logam oleh mikroorganisme. Saccharomyces cerevisiae, diketahui menunjukkan kemampuan alami yang baik untuk menghilangkan ion logam berat dari fasa berair. Untuk tujuan tersebut, strain baru S. cerevisiae diproduksi oleh konstruksi dan integrasi gen MT2 dan gen GFP-hMT2 rekombinan ke dalam sel ragi. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan penghilangan tembaga diukur pada kasus tingkat pertumbuhan tinggi. Dengan adanya tembaga 90 ppm, empat strain (WT, ySA4001, ySA4002, dan ySA4003) diserap dalam kisaran 3,4 sampai 8,1 mg Cu + 2 per gram biomassa kering, sedangkan penghilangan tembaga oleh strain yMNWTA01 sedikit lebih tinggi, 16,2 mg / g DCW, namun perbedaan antara nilai ini dan penghilangan tembaga oleh sel WT tidak signifikan (nilai P = 0.159). Pada konsentrasi tembaga awal 160 ppm, penghilangan tembaga oleh strain ySA4002 dan ySA4003 masing-masing adalah 8.1 dan 16,6 mg / g DCW, dimana perbedaan antara nilai ini tidak signifikan (nilai P = 0,606). Dengan kondisi yang sama, penghilangan tembaga oleh regangan yMNWTA01 secara signifikan lebih tinggi, 31,7 mg / g DCW (nilai P = 0,0181). Strain terakhir juga mempertahankan kemampuannya untuk menyerap ion tembaga pada konsentrasi awal 240 dan 330 ppm, dengan tingkat pemindahan masing-masing 44,7 dan 103,3 mg / g DCW. Karena pertumbuhan strain ragi lainnya dihambat pada konsentrasi tembaga ini, penentuan removal tembaga tidak relevan. Kemampuan strain S. cerevisiae yang diperiksa untuk menyerap ion tembaga dapat dipesan sebagai: yMNWTA01> ySA4003≈ySA4002> WT≈ySA4001.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bioremediasi In Situ dan Ex Situ

[Resume] Bioremediasi Limbah Cat

Fitoremediasi